Catatan Sejarah: Bila Fatwa Ulama [MUI] Diabaikan Penguasa( 2)

Sisemut 10:17 PM
Buya Hamka sendiri ketika itu berpidato. Ia memberikan gambaran bagaimana posisi ulama di masyarakat. “Kami ini bagaikan kue bika, dibakar antara dua bara api yang panas, di atas pemerintah dan di bawah umat. (Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. Hamka, 1981)

Munas yang pertama ini telah mempertemukan Ulama-Ulama dari berbagai Ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Ar-Rabithatul Alawiyah, dan Aljam-iyatul Washliyah. Semuanya bersatu dalam cinta kepada agama dan bangsa.

Munas berhasil membentuk pengurus Majelis Ulama Indonesia, yang dilantik oleh Menteri Agama, Mukti Ali. Dewan pimpinannya terdiri dari Ketua Umum, Prof.Dr.Hamka dan Ketua-Ketua, KH.Abdullah Syafiie, KH. Syukri Ghozali, KH. Habib Muhammad Al-Habsyi, KH. Hasan Basri, dan H.Soedirman

Pelantikan MUI oleh Menteri Agama, Mukti Ali. Sumber foto Majalah Panji Masyarakat
Pelantikan MUI oleh Menteri Agama, Mukti Ali. Sumber foto Majalah Panji Masyarakat

Munas diakhiri dengan penandatanganan piagam berdirinya MUI tertanggal 26 Juli 1975. Secara berurutan 26 Ketua Delegasi Majelis Ulama Daerah Tingkat I membubuhkan tanda tangannya. Masing-masing dimulai dari Delegasi DKI Jakarta sampai Maluku. Kemudian disusul oleh wakil-wakil Ormas Islam serta tokoh-tokoh perorangan yang menghadiri Munas tersebut.

Ormas-ormas Islam yang menandatangani Piagam tersebut adalah NU (diwakili KH.M.Dachlan), Muhammadiyah (Ir.H. Basid Wahid), Sarikat Islam (H.M.Syafii Wirakusuma), Perti (Nurhasan Ibnu Hajar), Al-Wasliyah, Mathla’ul Anwar, Al-Ittihadijah, GUPPI, PTDI, dan Dewan Masjid.

Tokoh-tokoh Islam yang membubuhkan tanda tangan ialah Prof.Dr.Hamka, KH. Safari, KH. Abdullah Syafii, Mr.Kasman Singodimedjo, KH.Hasan Basri, Tgk.H.Abdullah Ujong Rimba, H. Kudratullah dan lain-lain. Turut pula menandatangani piagam tersebut dinas-dinas rohani ABRI, Disrohis Angkatan Darat, Disrohis Angkatan Laut, Disrohis Angkatan Udara, dan Disrohis Polri.

Hari terakhir Munas. Tampak KH Bisri Sjansuri, Tuan Guru H. Zainuddin Pancor, H. Kafrawi dan Menteri Agama, Mukti Ali. Sumber foto Majalah Panji Masyarakat
Hari terakhir Munas. Tampak KH Bisri Sjansuri, Tuan Guru H. Zainuddin Pancor, H. Kafrawi dan Menteri Agama, Mukti Ali. Sumber foto Majalah Panji Masyarakat


Dalam pedoman pokok MUI, ada lima fungsi MUI:
  1. Memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar ma’ruf nahi munkar dalam usaha meningkatkan Ketahanan Nasional.
  2. Memperkuat ukhuwah Islamiyah dan melaksanakan kerukunan antar umat beragama. dalam mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
  3. Mewakili umat Islam dalam Badan Konsultasi Antar Umat Beragama.
  4. Penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat guna mensukseskan pembangunan nasional.
  5. Majelis Ulama tidak berpolitik dan tidak bersifat operasionil (Pelita, 28/7/1975).
Dari sejarah berdirinya MUI ini, kita bisa saksikan bahwa sebetulnya pemerintah mempercayakan sepenuhnya persoalan agama kepada MUI. Namun dalam perjalanannya, pemerintah tidak selalu menerima fatwa MUI. Contohnya fatwa haram bagi umat Islam merayakan natal bersama.
Kala itu, Menteri Agama, Alamsyah, meminta fatwa tersebut dicabut. Tapi dengan tegas Hamka menolak dan memilih meletakkan jabatannya. Setalah pemerintah menolak fatwa itu, apakah MUI kehilangan kepercayaan umat? Faktanya umat tetap mengikuti fatwa itu. Umat tetap percaya Ulama. Pemerintah lah yang justru tak laku.

Jadi kalau pemerintah sekarang membela Ahok dan tidak mengikuti sikap MUI yang kedudukannya lebih tinggi dari fatwa, mereka memang berharap umat meninggalkannya.

Sebagai penutup, sebuah nasihat dari Ketua Umum MUI pertama, Buya Hamka, untuk mereka, “Kalau ada di antara kita yang bertanya apa sanksinya kalau nasehat dan fatwa tidak digubris oleh penguasa, tidaklah ada undang-undang manusia yang akan menuntut pemerintah. Sebab pemerintah itu sendiri adalah pemegang undang-undang.

Tetapi jika fatwa itu benar dan jujur, masih juga ditolak, maka pemegang-pemegang kuasa itu akan dihukum oleh Tuhan sendiri. Kadang-kadang mereka terima kontan di dunia ini juga. Bertambah mereka tidak percaya akan kekuasaan Tuhan, bertambah mereka tenggelam ke dalam la’nat ilahi.” (Panji Masyarakat, 1/8/1975).

 kiblat.net
Penulis: Andi Ryansyah, pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

BerKomentarlah yang sopan dan bijak
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.