Catatan Sejarah: Bila Fatwa Ulama [MUI] Diabaikan Penguasa

Sisemut 10:13 PM

Foto: Ulama Indonesia terhimpun dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sekarang-sekarang ini, kita sedang menunggu hasil gelar perkara Ahok terkait kasus penistaan agama. Memang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menyatakan Ahok menista Al-Qur’an dan Ulama, tapi itu rupanya tidak menjamin aparat penegak hukum memutuskan Ahok melanggar pasal penistaan agama. Aparat tampaknya sangat berhati-hati dalam kasus Ahok ini, untuk tidak mengatakan lamban dan ragu dengan sikap MUI. 

Perlu kita ketahui, MUI ada, karena tumbuhnya rasa saling percaya dan membutuhkan di antara pemerintah dan Ulama kala itu. Sebelumnya, ada jarak di antara keduanya. Bila di masa revolusi, mereka bahu membahu memperjuangkan kemerdekaan, namun 30 tahun setelah Indonesia merdeka, mereka makin lama makin berjauhan.

Pemerintah menganggap Ulama sebagai batu penghalang pembangunan, kecuali yang mau “membantu”. Ulama diharuskan menyokong segala program pemerintah. Tak boleh dibantah. Meski menurut keyakinan Ulama, program itu bertentangan dengan Islam.

Diperlakukan begitu, kalangan Ulama tak tunduk. Mereka teringat akan hadits Nabi, “Ulama yang mendekati penguasa, dicemburui ketulusan agamanya. Lebih baik menjauh demi keselamatan agamamu.”

Ulama yang muda-muda tetap mengkritik pemerintah melalui tabligh-tabligh dan khutbah Jum’at. Kritik mereka pun sampai ke telinga pemerintah. Sampai pemerintah merasa perlu mengirim banyak intel. “Kadang-kadang, supaya laporan berisi, kata sejengkal direntang dijadikan sehasta. Kata sehasta dirunyut dijadikan sedepa,” ungkap Buya Hamka.

Satu waktu, di kalangan Ulama menimbang, kalau mengkritik pemerintah di tabligh-tabligh saja atau di khutbah Jum’at saja, lebih banyak ruginya ketimbang untungnya. Orang yang dikritik itu tidak insyaf. Malah timbul hawa nafsunya menjaga gengsi. Mengkritik dari jauh hanya akan menambah jauh.

Di kalangan pemerintah menimbang pula. Mereka menyadari kesalahan siasat selama ini yang menjadikan Ulama sebagai alat politik pembujuk rakyat. Sebab rakyat sudah bosan dengan itu dan tak lagi bodoh. Makin lama pemerintah makin merasakan betapa perlunya Ulama-Ulama mendampingi dan menasihatinya. Sebab banyak hal yang menyangkut agama yang tidak diketahuinya, yang dapat menyinggung perasaan umat Islam. Kini, bagi pemerintah, pembangunan tak semata materi, tapi juga rohani. Karena itu pemerintah membentuk Majelis Ulama. Diajaklah Ulama bergabung di dalamnya. Ulama yang merasa lebih baik tidak menjauh tadi, setelah mendengar ajakan pemerintah itu, lalu menerimanya (Hamka, Panji Masyarakat 1/8/1975, 15/9/1975).

Setelah Majelis Ulama berdiri, Majelis Ulama di tiap-tiap propinsi, kabupaten, sampai kecamatan mengadakan Musyawarah Nasional (Munas), yang dihadiri oleh empat orang Ulama dari tiap-tiap propinsi, wakil-wakil dari Organisasi Islam dan Ulama-Ulama terkemuka. Munas diadakan di Jakarta dari tanggal 21-26 Juli 1975. Tujuan utamanya mendirikan Majelis Ulama Indonesia Pusat.

Munas I MUI. Sumber: Majalah Panji Masyarakat.
Munas I MUI. Sumber: Majalah Panji Masyarakat.

Pada Munas itu, Presiden Soeharto membukanya dengan “Bismillahirrahmanirrahim”. Dalam pengarahannya, beliau menginginkan Ulama turut andil dalam pembangunan sesuai dengan bidangnya. Karena bagi beliau, pembangunan bukan semata-mata materi, tapi juga rohani. Beliau menambahkan, sebagai bangsa, kemerdekan kita sangat bergantung pada kemerdekaan jiwa dengan iman dan takwa kepada Allah, ketimbang pengaruh lain. Maka, lanjutnya, sangatlah besar harapan umat, khususnya yang beragama Islam, kepada Ulamanya untuk amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh berbuat baik, mencegah berbuat munkar) serta tidak merasa bimbang dan takut di dalam menegakkan kebenaran.

Presiden Soeharto juga mengungkapkan, kesadaran hidup beragama, keteguhan iman dan takwa, menyebabkan kita berlapang dada menghadapi penduduk yang agamanya berbeda. Sebab, lanjutnya, agama Islam mengajarkan dua hal penting dalam Al-Qur’an: la ikraha fiddin (tidak ada paksaan dalam agama) dan lakum dinukum waliyadin (bagimu agamamu, bagiku agamaku).

Dan Presiden Soeharto menegaskan, Majelis Ulama akan memberikan nasihatnya kepada pemerintah baik diminta ataupun tidak (Hamka, Panji Masyarakat, 1/8/1975).
“Karena demikian besar peranan Alim Ulama dalam pembangunan masyarakat, maka saya menganggap sangat tepat adanya Majelis Ulama yang segera akan dibentuk oleh Ulama ini,” ungkap Presiden Soeharto (Pelita, 22/7/1975).

Dalam Munas, Menhankam, Jenderal TNI Maraden Panggabean, juga menyampaikan pandangannya. Menurutnya, ”Kaum Ulama telah memberikan sahamnya yang sangat besar bagi pengisian arti kemerdekaan serta unsur yang turut serta dalam merealisasikan Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan memperkuat ketahanan spirituil dalam menghadapi ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila.” (Pelita, 23/7/1975).


Baca halaman selanjutnya: Buya Hamka sendiri ketika itu....

Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

BerKomentarlah yang sopan dan bijak
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.