Pagi itu, Syachrie sendiri yang menyetir mobil bermuatan enam orang
itu. “Saya berangkat tujuh orang, bersama Pak Oye, Pak Acang, Pak Ganda,
Istri dan dua anak saya si Ben sama Aurel,” kata Wawan, tetangga Pak
Oye yang merupakan jamaah ustaz Subki.
“Beliau berangkat dalam keadaan sangat sehat dan bersemangat, mobil
aja dia yang nyetir,” kata Wawan. Beberapa hari sebelumnya, memang kata
Wawan, sebagai sesepuh kampung, Pak Oye terus mengajak warga untuk
membela Al-Quran.
“Padahal beliau bukan anggota partai politik apapun, bukan anggota
ormas mana pun, beliau pencinta zikir dan shalawat, murni karena ingin
membela al Quran,” Dede Winata menambahkan. Saking semangatnya, Wawan,
karibnya memutuskan untuk cuti kerja.
“Ini jihad kita membela al Quran, bahkan kalau harus mati kita
jalanin,” Pak Oye membuat Wawan terenyuh dan memilih bergabung bersama
massa. “Saya tanya istri, dia juga mau ikut, sekalian saya mau nengok ke
rumah mertua saya,” kenang Wawan.
Maka, pagi itu Syachrie Oemar Yunan berangkat sebagai seorang
pejuang. Semobil dengan Pak Oye, Wawan begitu takjub mendengar beliau
hanya berzikir dan membaca shalawat tak henti-hentinya. “Saya sama istri
diturunin di Kota Bambu, saya ajak beliau mampir makan dulu, tapi
beliau bilang mau ke Tanah Abang, kan dia banyak teman di sana,” kata
Wawan yang akhirnya berpisah dengan pak Oye.
Almarhum M. Syachrie berpose dengan gurunda Habib Munzir Al-Musawa, pimpinan Majelis Rasulullah. |
Suganda, yang hingga detik-detik akhir bersama dengan Pak Oye
mengisahkan semangat beliau dan nostalgia Pak Oye bersama kawan-kawannya
di Tanah Abang. “Jam 08 pagi kita sudah sampai di Tanah Abang, entah
kenapa beliau mau ketemu teman-teman lamanya yang sudah 15 taun nggak
ketemu, kangen katanya,” kata Suganda.
Suganda memperhatikan Pak Oye benar-benar menikmati silaturahim
dengan kawan-kawannya, karena Pak Oye merupakan orang asli Betawi.
“Obrolan beliau sepertinya begitu membekas bersama kawan-kawannya. Kita
lanjutin shalat Jumat di Masjid Istiqlal, tapi ga memungkinkan karena
sepanjang jalan sudah penuh,” kata Suganda.
Akhirnya, Pak Oye dan Suganda shalat bersama di Masjid Ar Rahal di
bilangan Jalan Abdul Muis. “Beres Jum’atan kita makan, kita bawa bekel.
Kita makan kesukaan beliau, pepes ikan,” kata Suganda.
Suganda mengenang, Rabu malam, Suganda membawakan pepes ikan kembung
dan dimakan lahap berdua bersama Pak Oye. “Sampe dia catet sendiri
resepnya pake HP, eh sekarang dia bawa pepes,” kata Suganda. Usai makan,
mereka bergerak, bersatu dengan lautan manusia menyusur Abdul Muis
hingga jalan Budi Kemuliaan.
“Selama di perjalanan beliau sangat sehat, sangat bersemangat,” kata
Suganda yang menemani perjalanan beliau. “Beliau tak henti-hentinya
berzikir dan shalawat dengan semangat, memang beliau pencinta
shalawat,”tambahnya.
Senja. Kuning keemasan, menaungi lautan manusia yang menyemut seakan
tak berujung di sudut-sudut jalan protokol Ibu Kota. Suganda dan Pak Oye
tiba di Patung Kuda, ujung Jalan Merdeka Barat dan Thamrin, bergabung
dengan jutaan manusia yang terus menerus menyerukan keadilan.
Firasat Sebelum Berpisah
Beristirahat sejenak, dengan semangat menggebu dan kondisi prima, Pak Oye berniat melanjutkan maju ke Istana, bersua dengan ulama mereka. “Saya baru teringat ucapan beliau di Patung Kuda, dia bilang mungkin bercanda."Da, sampe sini aja kali ya kite, habis ini pisah kali ya’” katanya.
Suganda cuman bisa nyengir. “Maksudnya gimana? Jangan gitu dong,
nanti kite balik yang nyetir siape?” kata Suganda sambil terkekeh.
Mereka berdua menyusur lautan manusia hingga sampai di Ring 1 dekat para
ulama dan habaib di depan. “Kira-kira di sebelah kanan para ulama,
dekat monas,” kata Suganda.
Kumandang azan syahdu menggantung di langit Istana Merdeka, di
hadapan jutaan massa aksi damai bela Islam. Pemandangan dramatis, saat
jutaan manusia di jalanan bersama melafalkan kalam suciNya, berdiri,
rukuk dan sujud dipimpin para ulama.
Selepas isya, Suganda masih bersama Pak Oye membelakangi Monas
bersama lautan manusia. Sejauh mata memandang, para ulama itu masih
dengan sejuk melafalkan takbir. Para demonstran pun berdiam rapi,
termasuk Suganda dan Pak Oye.
“Kami Diserang!”
“Kami Diserang!”
Tetiba, insiden itu pecah. “Kami tiba-tiba ditembakkin gas air mata,” kata Suganda kaget. Padahal, posisinya di dekat monas dan para ulama merupakan kondisi yang damai dan tertib. Dalam kepanikan, suara tembakkan terus menggelegar di pelataran Istana. “Dor..dor…dor..”
“Saya kempit itu Pak Oye, saat itu saya udah perih banget, rasanya
udah ampir setengah mati, kita tiba-tiba ditembakin gas air mata,”
kenang Suganda yang berusaha melarikan diri tapi tak bisa karena massa
penuh sesak.
bersambung Kisah Pak Oye 3
bersambung Kisah Pak Oye 3
0 Komentar
BerKomentarlah yang sopan dan bijak